Archive for March, 2008

31
Mar
08

MIS (Management Information System)

MIS ( Management Information system )
Kode Mata Kuliah : IEE 312025

Pengajar : Ir.M.Dachyar,. Msc

Tujuan : Memampukan untuk melakukan pendekatan terhadap segala bentuk sistem untuk kemudian mampu melakukan:

1.How To Design

2.How To Install

3.How To Improve

Literature :
1. Mcleod, managemet information system . 10th edition . practice hall,2003
2.Lucas , information system concept for management , mc Grawhill,1994 ( referensi )

Tugas :
1 : Management information system
2 : Knowlegde management dan aplikasinya
3 : Membuat Blog
4 : EDI
5 : Barcode
6 : Bisnis process
7 : Up date Blog Dan 10 coments blog mahasiswa lain

31
Mar
08

Ahli Manajemen Waktu


timemgt.jpg
Category: Other
Suatu hari, seorang ahli ‘Manajemen Waktu’ berbicara didepan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya.
Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata, “Baiklah, sekarang waktunya kuis.”
Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya diatas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu kedalam toples.
Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” Semua siswanya serentak menjawab, “Sudah.”
Kemudian dia berkata, ” Benarkah? Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah2 batu-batu itu.
Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?”
Kali ini para siswanya hanya tertegun, “Mungkin belum”, salah satu dari siswanya menjawab.
“Bagus!” jawabnya
Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan.
Sekali lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Belum!” serentak para siswanya menjawab
Sekali lagi dia berkata, “Bagus!”
Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.
Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kpd para siswanya dan bertanya, “Apakah maksud dari ilustrasi ini?” Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab, “Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya.

“Bukan”, jawab si ahli, “Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa : Kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yg pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali. Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Hobbymu. Waktu untuk dirimu sendiri. Kesehatanmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya. “Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (kerikil dan pasir)dalam waktumu maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil, kamu tidak akan punya waktu berharga yg kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting (batu-batu besar) dalam hidupmu.

31
Mar
08

Garam dan Telaga

Category: Bookssaltlake.jpg
Genre: Parenting & Families
Author: unknown
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini,dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu. “Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ketepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”. “Segar.”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya.

Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu enampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

31
Mar
08

Agama Saya Cinta


Category: Othergede-prama.jpg
Kompas, Sabtu – 9 September 2006

Paradoks, itulah judul yang diberikan terhadap kecenderungan kekinian dalam kehidupan. John Naisbitt adalah salah satu tokoh yang berkontribusi besar terhadap populernya terminologi paradoks.
Fundamental dalam pikiran orang- orang seperti Naisbitt, bila ada kecenderungan yang keluar dari rel akal sehat, dengan mudah masuk ke kotak paradoks. Sebagian dari manusia yang memberi judul paradoks kemudian kecewa, sebagian lagi malah bertumbuh justru karena paradoks. Tulisan ini berharap, mudah-mudahan lebih banyak sahabat yang dibuat bertumbuh oleh paradoks-paradoks berikut. Tidak menjadi niat tulisan ini agar paradoks-paradoks berikut menjadi awal permusuhan dan kecurigaan baru.
Sebagian paradoks yang layak dicermati adalah apa yang terjadi di Bali, India, Tibet, sampai Timur Tengah. Bali, sebagaimana dikomunikasikan dalam waktu lama oleh industri pariwisata, adalah pulau kedamaian. Namun, di sini juga ribuan manusia dibantai karena judul komunis di tahun 1965. Di sini juga dua bom teroris meraung-raung memakan banyak jiwa manusia. Di sini juga sebuah kota terbakar karena calon presiden yang didukung tidak terpilih di tahun 1999. Di Bali juga terjadi orang yang sudah meninggal pun masih dihalangi agar pulang secara damai.
India juga serupa. Di sini lahir dua agama dunia (Hindu dan Buddha), di sini juga terlahir tokoh-tokoh spiritual yang besar dan mengagumkan, dari Mahatma Gandhi, Ramakrishna, Svami Vivekananda, 0sho, Ramana Maharsi, sampai Buddha Gautama, Atisha, dan Acharya Shantidewa. Namun, di sini juga kebencian memacu permusuhan terus-menerus sehingga sahabat Hindu dengan sahabat Islam belum mengakhiri secara tuntas permusuhannya. Persoalan perbatasan masih memanas. Sejumlah tempat ibadah masih dijaga aparat.
Tibet adalah atap dunia. Seperti kepalanya Bumi. Dengan demikian, mudah dimengerti di sini lahir banyak sastra kehidupan yang mengagumkan (salah satu contohnya The Tibetian Book of the Dead). Namun, di sini juga kesedihan berumur teramat panjang. Dari pemimpinnya Dalai Lama sudah di pengasingan selama puluhan tahun, nasib rakyat Tibet yang penuh dengan tangisan. Dan belum ada tanda-tanda kuat kalau negeri suci ini akan mengalami perubahan.
Timur Tengah juga serupa. Di sini dua agama dunia (Islam dan Nasrani) pernah lahir. Namun, di sini juga mesin-mesin senjata meraung-raung terus memakan korban-korban manusia tidak berdaya. Israel dan Palestina belum menunjukkan tanda-tanda berdamai dalam jangka panjang. Belakangan malah semakin menyedihkan.
Dengan demikian, dalam totalitas, mudah dimengerti kalau Naisbitt pernah membaca sebuah kecenderungan mendunia: ’religion no, spirituality yes’. Agama tidak, spiritualitas ya. Ini mirip dengan pengalaman seorang remaja Indonesia yang pernah kuliah di Melbourne, Australia. Suatu kali dalam kelas yang besar jumlah mahasiswanya, dosennya bertanya: any one of you who have religion? Siapakah yang memiliki agama di kelas ini? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir orang. Namun, mahasiswa yang tidak menaikkan tangannya kalau meminjam pensil tidak lupa mengembalikan. Bila bertemu ibu-ibu dosen membawa beban buku agak berat, mereka cepat memberikan pertolongan. Bila antre di mana pun sangat disiplin. Tatkala bertemu sahabat lain tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi. Bila ada teman dalam kesulitan, refleknya bekerja amat cepat untuk membantu. Bila masuk pintu lift atau pintu kereta api mendahulukan orang tua.
Karena itu, menimbulkan pertanyaan, apa agama orang-orang ini? Mirip dengan sejumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali. Ketika ditanya apakah Anda Nasrani, ia hanya menjawab dengan senyuman tidak bersuara. Namun, sopannya, ya ampun. Masuk rumah mengetuk pintu, lupa dipersilakan duduk, kemudian bertanya: boleh saya duduk? Bila tidak sependapat, memulai dengan kata ’maafkan kalau saya tidak sependapat’. Dan sejumlah sopan santun yang menyentuh hati.
Ini juga yang membuat sejumlah sahabat di dunia spiritual mulai bergeser: dari pengetahuan spiritual menuju pencapaian spiritual. Belajar dari Buddha lengkap dengan welas asihnya tentu baik. Membaca puisi-puisi sufi yang bertema cinta dan hanya cinta tentu berguna. Kagum dengan doa Santo Fransiscus dari Asisi tentu bermakna. Jatuh cinta sama Bhagawad Gita tentu sebuah pertumbuhan jiwa. Mendalami kebijaksanaan-kebijaksanaan Confucius tentu saja bermanfaat. Namun, mengaktualisasikannya ke dalam pencapaian spiritual keseharian tentu memerlukan upaya yang jauh lebih keras lagi.
Banyak guru yang sepakat, jembatan terpenting yang menghubungkan antara pengetahuan spiritual dan pencapaian spiritual adalah latihan. Seperti menemukan keseimbangan bersepeda, hanya latihan yang paling banyak membantu. Dan waktu serta tempatnya tersedia di mana-mana secara berlimpah. Di rumah, tempat kerja, sekolah, jalan raya, tempat ibadah, sampai lapangan sepak bola, semuanya bisa menjadi tempat-tempat menemukan pencapaian spiritual. Seperti kalimat indah Kahlil Gibran: ’keseharian kita adalah tempat ibadah kita yang sebenarnya’.
Menyayangi istri/suami, mendidik putra/putri, mencintai orangtua, menghormati tetangga, menghargai pendapat atau sikap yang berbeda, menghormati atasan, menghargai jasa pemerintah, berterima kasih kepada tukang sapu atau pembantu, dan bila mampu mencintai musuh ada- lah rangkaian pencapaian spiritual keseharian yang mengagumkan. Pengetahuan spiritual memang kaya kata-kata. Namun, pencapaian spiritual kaya akan pelaksanaan.
Kagum dengan pencapaian spiritual Dalai Lama, Richard Gere pernah bertanya kepada pemimpin spiritual Tibet ini tentang agama yang sebenarnya dianut Dalai Lama dalam keseharian. Dengan senyuman penuh di muka, Dalai Lama menjawab: agama saya yang sebenarnya adalah kebaikan.
Ini mirip dengan cerita tentang mahasiswa Melbourne di depan yang tidak menaikkan tangan ketika ditanya punya agama atau tidak. Namun, dalam kesehariannya mereka rajin membantu, sekaligus jarang menyakiti. Sebagian dari orang-orang ini sambil bergumam mengatakan: ’agama saya Cinta’.

31
Mar
08

Suatu saat Ketika Tertidur

Saat Tertidur Aug 1, ’06 9:45 PMbabysleep.jpg

for everyone
Category: Books
Genre: Parenting & Families
Author: unknown
Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur?
Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.
Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.

Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inilah rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.

Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm… kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata-mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.

Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu : Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya. Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu. Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda. Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selau saja nampak besar.

Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur. Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya. Tanpa kata, tanpa suara dia berkata: “betapa lelahnya aku hari ini”.

Dan penyebab lelah itu? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah kita. Suami yang bekerja keras mencari nafkah, istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita. Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka.

Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka – orang-orang terkasih itu – tak lagi membuka matanya, selamanya…..

31
Mar
08

Pentingnya “Re-Code DNA” untuk Perubahan Signifikan


Category: Other r_kasali.jpg
Sebuah bangsa yang mampu bertahan (survive) bukan hanya dituntut berdaya saing, tetapi juga harus adaptif. Sebelum menggunakan kemampuan daya saing, bangsa itu harus mampu beradaptasi.

“Adaptif di sini berarti bisa hidup dan melakukan hal-hal yang tidak biasa karena keadaan lingkungan ekonomi dan politiknya pun sedang tidak biasa. Kita harus melepaskan belenggu-belenggu pemikiran dan kehidupan masa lalu,” ujar pakar manajemen dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, dalam peluncuran buku barunya, Re-Code Your Change DNA, pekan lalu di Jakarta.

Menurut Rhenald, berbagai peristiwa yang dialami dan direspons dunia usaha, pemerintah, lembaga-lembaga pengawasan, dan parlemen di Indonesia saat ini semakin menunjukkan pentingnya pengkodean ulang atau re-code yang berarti membebaskan belenggu-belenggu yang kita buat sendiri agar lebih responsif dalam menghadapi setiap persoalan di era serba cepat ini.

“Tuntutan masyarakat saat ini terletak pada lima hal, yaitu kecepatan, kemudahan, informatif, bersahabat, dan kesederhanaan,” katanya.

Selama ini sering kali orang mengatakan bahwa dari dulu keadaan sudah seperti sekarang, jadi mau diapakan lagi. Hal tersebut seakan-akan menunjukkan ada semacam faktor keturunan, semacam genetika yang terkode dalam perilaku orang-per orang dan terkunci di sana. “Oleh sebab itu, kita perlu re-code terhadap DNA tersebut atau kebiasaan-kebiasaan lama yang membelenggu,” ujar Rhenald.

Ada lima unsur pembentuk sifat perubahan (change DNA). Pertama, keterbukaan pikiran (openness to experience), khususnya terhadap hal-hal baru, hal-hal yang dialami dan dilihat mata sendiri. Kedua, keterbukaan hati dan telinga (conscientiousness). Ketiga, keterbukaan diri terhadap orang lain (extroversion), kebersamaan, dan hubungan-hubungan. Keempat, keterbukaan terhadap kesepakatan (agreeableness) di mana tidak mudah memilih konflik. Kelima, keterbukaan terhadap tekanan-tekanan (neuriticism).

Menurut dia, dewasa ini re-code menjadi prioritas bagi dunia usaha, sekaligus pelayanan publik. Re-code menyangkut dua pilar penting, yaitu re-code manusia, yakni dalam hal cara berpikir dan memimpin; dan re-code organisasi. “Belenggu-belenggu itu ada di organisasi, tapi yang terpenting justru ada pada manusianya, yaitu cara berpikirnya,” kata Rhenald.

Dari Presiden

Secara khusus, Rhenald menyoroti pentingnya decision management, terutama oleh presiden sebagai pemimpin bangsa ini. Selama ini presiden memang telah melakukan berbagai pengambilan keputusan (decision making) untuk mengatasi persoalan yang ada. Sering kali langkah pengambilan keputusan tersebut dipandang cukup untuk mengatasi berbagai persoalan. Padahal semua itu masih memerlukan decision management.

Dia mencontohkan departemen-departemen yang saat ini hampir tak ada yang memedulikan. Para menteri sibuk mengurusi urusannya sendiri dan bahkan tidak lagi memerhatikan kondisi departemennya. “Intinya adalah harus mau berubah dan perubahan itu termasuk perubahan cara berpikir,” katanya.

Dia mencontohkan Le Peres, putra seorang tetua adat Suku Masai yang selalu menggunakan jubah merah. Ia menjadi salah seorang yang mencetuskan perubahan dalam sukunya. Dia mencoba menjadi seorang Afrika yang tidak terbelakang dengan menempuh pendidikan ke tempat yang jauh meskipun untuk itu dia harus berjuang keras.

Menurut Rhenald, re-code harus diprioritaskan pada lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan. Universitas-universitas masih memiliki belenggu yang melahirkan manusia-manusia pintar, tetapi perilakunya terbelenggu dengan cara pikir yang keliru.

“Selain universitas, dunia usaha dan pemerintah pun memerlukan re-code. Re-code itu sangat penting karena kita harus menggunakan cara yang tidak biasa untuk menghadapi situasi yang tidak biasa untuk membuat perubahan yang signifikan di negeri kita ini,” ujarnya.

Kompas, Rabu 10 Januari 2007

31
Mar
08

Gusti Allah Tidak Ndeso – Emha Ainun Nadjib


ainun.jpgSuatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”

Cak Nun menjawab lantang, “Ya, nolong orang kecelakaan.”

“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.

“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.

“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak. Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.”

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata

Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.

Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

08
Mar
08

Anak Belajar dari Kehidupannya


Chilldren Learn What They Livechildren1.jpg
by Dorothy Louise Law Nolte

If children live with criticism, they learn to condemn.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar menyalahkan

If children live with hostility, they learn to fight.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi

If children live with fear, they learn to be apprehensive.
Jika anak dibesarkan dalam ketakutan, ia selalu merasa cemas

If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
Jika anak sering dikasihani, ia belajar meratapi nasibnya

If children live with ridicule, they learn to feel shy.
Jika anak dibesarkan dengan ejekan, ia tumbuh menjadi pemalu

If children live with jealousy, they learn to feel envy.
Jika anak dibesarkan dengan rasa dengki, ia tak akan pernah puas

If children live with shame, they learn to feel guilty.
Jika anak sering dipermalukan, ia selalu merasa bersalah

If children live with encouragement, they learn confidence.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia akan percaya diri

If children live with tolerance, they learn patience.
Jika anak dibesarkan dengan pengertian, ia belajar menjadi penyabar

If children live with praise, they learn appreciation.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai

If children live with acceptance, they learn to love.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia akan belajar mencintai

If children live with approval, they learn to like themselves.
Jika anak dibesarkan dengan persetujuan, ia akan bahagia dengan dirinya

If children live with honesty, they learn truthfulness.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia akan terbisa melihat kebenaran

If children live with fairness, they learn justice.
Jika anak dibesarkan dengan adil, ia akan belajar berbuat adil

If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan mempercayai diri dan orang lain

If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.
Jika anak dibesarkan dengan keramahan, ia akan merasa dunia adalah tempat yang menyenangkan




March 2008
M T W T F S S
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31