Category: Other
Sebuah bangsa yang mampu bertahan (survive) bukan hanya dituntut berdaya saing, tetapi juga harus adaptif. Sebelum menggunakan kemampuan daya saing, bangsa itu harus mampu beradaptasi.
“Adaptif di sini berarti bisa hidup dan melakukan hal-hal yang tidak biasa karena keadaan lingkungan ekonomi dan politiknya pun sedang tidak biasa. Kita harus melepaskan belenggu-belenggu pemikiran dan kehidupan masa lalu,” ujar pakar manajemen dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, dalam peluncuran buku barunya, Re-Code Your Change DNA, pekan lalu di Jakarta.
Menurut Rhenald, berbagai peristiwa yang dialami dan direspons dunia usaha, pemerintah, lembaga-lembaga pengawasan, dan parlemen di Indonesia saat ini semakin menunjukkan pentingnya pengkodean ulang atau re-code yang berarti membebaskan belenggu-belenggu yang kita buat sendiri agar lebih responsif dalam menghadapi setiap persoalan di era serba cepat ini.
“Tuntutan masyarakat saat ini terletak pada lima hal, yaitu kecepatan, kemudahan, informatif, bersahabat, dan kesederhanaan,” katanya.
Selama ini sering kali orang mengatakan bahwa dari dulu keadaan sudah seperti sekarang, jadi mau diapakan lagi. Hal tersebut seakan-akan menunjukkan ada semacam faktor keturunan, semacam genetika yang terkode dalam perilaku orang-per orang dan terkunci di sana. “Oleh sebab itu, kita perlu re-code terhadap DNA tersebut atau kebiasaan-kebiasaan lama yang membelenggu,” ujar Rhenald.
Ada lima unsur pembentuk sifat perubahan (change DNA). Pertama, keterbukaan pikiran (openness to experience), khususnya terhadap hal-hal baru, hal-hal yang dialami dan dilihat mata sendiri. Kedua, keterbukaan hati dan telinga (conscientiousness). Ketiga, keterbukaan diri terhadap orang lain (extroversion), kebersamaan, dan hubungan-hubungan. Keempat, keterbukaan terhadap kesepakatan (agreeableness) di mana tidak mudah memilih konflik. Kelima, keterbukaan terhadap tekanan-tekanan (neuriticism).
Menurut dia, dewasa ini re-code menjadi prioritas bagi dunia usaha, sekaligus pelayanan publik. Re-code menyangkut dua pilar penting, yaitu re-code manusia, yakni dalam hal cara berpikir dan memimpin; dan re-code organisasi. “Belenggu-belenggu itu ada di organisasi, tapi yang terpenting justru ada pada manusianya, yaitu cara berpikirnya,” kata Rhenald.
Dari Presiden
Secara khusus, Rhenald menyoroti pentingnya decision management, terutama oleh presiden sebagai pemimpin bangsa ini. Selama ini presiden memang telah melakukan berbagai pengambilan keputusan (decision making) untuk mengatasi persoalan yang ada. Sering kali langkah pengambilan keputusan tersebut dipandang cukup untuk mengatasi berbagai persoalan. Padahal semua itu masih memerlukan decision management.
Dia mencontohkan departemen-departemen yang saat ini hampir tak ada yang memedulikan. Para menteri sibuk mengurusi urusannya sendiri dan bahkan tidak lagi memerhatikan kondisi departemennya. “Intinya adalah harus mau berubah dan perubahan itu termasuk perubahan cara berpikir,” katanya.
Dia mencontohkan Le Peres, putra seorang tetua adat Suku Masai yang selalu menggunakan jubah merah. Ia menjadi salah seorang yang mencetuskan perubahan dalam sukunya. Dia mencoba menjadi seorang Afrika yang tidak terbelakang dengan menempuh pendidikan ke tempat yang jauh meskipun untuk itu dia harus berjuang keras.
Menurut Rhenald, re-code harus diprioritaskan pada lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan. Universitas-universitas masih memiliki belenggu yang melahirkan manusia-manusia pintar, tetapi perilakunya terbelenggu dengan cara pikir yang keliru.
“Selain universitas, dunia usaha dan pemerintah pun memerlukan re-code. Re-code itu sangat penting karena kita harus menggunakan cara yang tidak biasa untuk menghadapi situasi yang tidak biasa untuk membuat perubahan yang signifikan di negeri kita ini,” ujarnya.
Kompas, Rabu 10 Januari 2007